Kamis, 11 Agustus 2011

Selendang Putih Untuk Sarah

Menikmati secangkir teh disore hari berteman dengan rerintikan hujan sungguh sangat memuaskan hati yang sendu. Walau hanya bersandar pada kursi goyang tua di serambi depan kosan ini, namun saya tetap menikmati karunia yang Tuhan berikan kepada saya atas semua perjalanan hidup yang telah saya lalui.
Sambil mendengarkan lagu ciptaan teh Melly goeslaw-bunda, suasana sore ini sungguh mengiris perasaan saya. Yang rindu akan sosok bunda yang tlah lama meninggalkan saya ke syurga.
Ironis memang, ditengah pencapaian perjalanan hidup saya sekarang, tak seorangpun bisa ikut mencicipi kebahagiaan ini. Sambil duduk di kursi goyang tua itu, terkenang kisah pilu yang membuat saya menjadi anak yatim-piatu dan hidup sebatang kara di dunia yang sangat luas ini. Tak mampu menahan air mata ini untuk mengalir dipipi setiap kali mengingat kejadian tragis itu. Kisah lalu yang menjadi scenario baru dimasa depan. Masih terekam jelas dimemori saya tentang tragedy juni di tahun 2001 silam. Walau 10 tahun berlalu sudah, namun perihnya belum mampu terobati.
Melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana umi, sebutan ibu bagi saya dan Bayu, almarhum adik saya tercinta di lecut dengan tali tambang berkali-kali hingga darahnya keluar dari tubuh umi yang kecil itu. Menahan rasa sakit tanpa jeritan berkepanjangan demi menyelamatkan nyawa anak-anaknya tercinta. Umi, ibu yang tiada duanya di muka bumi ini, beliau bukan hanya sosok wanita yang melahirkan saya, tapi juga malaikat penjaga yang diturunkan Tuhan untuk membuat tiap garis senyum dibibir saya, dan juga sebagai penghapus lara disetiap derai air mata yang jatuh dari mata. Umi juga yang menjadi sosok penyemangat hingga saya bisa bertahan menjadi wanita seperti umi. Namun tubuhnya yang sudah tua itu tak mampu menahan betapa kejamnya lecutan anggota GAM (Gerakan Aceh Merdeka) itu. Hingga akhirnya Tuhan tak membiarkan umi untuk lama-lama tersiksa dan menjemputnya kembali kepangkuan-Nya.
Dari balik lemari TV itu pula ku lihat ayah dibunuh secara sadis. Mereka tak memperlakukan ayah layaknya seorang manusia. Bahkan seekor anjingpun tak layak mati dengan cara itu. Bersama 4 orang ayah dari sahabat-sahabat saya yang lain, ayah dibakar hidup-hidup oleh para keparat itu tanpa rasa iba. Hatiku meronta tanpa mampu berkata. Ingin rasanya keluar dari tempat persembunyian dan mengambil batu yang sangat besar untuk dilempar ke kepala mereka yang berisi syaithan itu. Namun pesan umi terakhir adalah, agar saya menyelematkan diri, apapun itu yang terjadi. Dan saya harus tetap kuat menjalini hidup dengan atau tanpa ayah dan umi. Air mata ini terus mengalir tanpa henti setiap kali mengenang kejadian kejam itu. Dan setiap kali mengenangnya, amarah didalam diri ini tak mampu
tertahan. Ingin rasanya ku teriak sekencang-kencangnya dan melampiaskan semua pada apapun yang ada. Namun hati nurani ku masih bersahabat dan tak membiarkan ku masuk kedalam golongan syaithan itu. Mengikhlaskan dan berusaha tabah dalam menjalani masa depan adalah jalan yang ku pilih. Marah terhadap Tuhan pun tak ku rasa berguna, karena ku yakin, disetiap langkah ku kini, sosok umi tetap menjadi malaikat penjagaku yang dikirimkan Tuhan untuk setiap ukiran senyumku.
Terlepas dari kekejian GAM tersebuat, aku bersama berpuluh orang yang selamat di Aceh itu harus meninggalkan rumah kami, meninggalkan harta benda kami, dan meninggalkan setiap kenangan di negeri serambi mekkah tersebut. yah bagiku, harta yang paling berharga adalah keluargaku, dan kini aku harus memulainya dari awal demi hidup ku selanjutnya.
Berjalan kaki, melewati hutan belantara tanpa makanan, minuman, dan selimut penghangat tidur dikala malam, harus saya lalui bersama orang-orang yang selamat itu. Tak ada kendaraan apapun yang bisa kami gunakan untuk menyelamati diri, hanya bertopang pada tenaga dan kaki kami masing-masinglah yang akan menuntun kami untuk kehidupan lebih baik. Menuju kota medan, tidak sedikit dari rombongan kami itu jatuh dan tak mampu bertahan. Dan tidak sedikit diantara mereka yang menyusul ayah dan umi ku serta adekku Bayu, ke kehidupan tanpa celah, tanpa kebingisingan, tanpa pembunuhan, yaitu syurga yang indah.
Berhari-hari ku tempuh perjalanan menuju kota medan untuk memulai hidup baruku, dan mewujudkan impian ayah dan umi agar aku sukses dan meraih hidup lebih baik. Walau badan ini tak mampu lagi bertahan, kaki tak mampu lagi menopang, namun kekuatan hati inilah yang menjadi satu-satunya kekuatan untuk tetap survive dan menyongsong hari esok.
Suara lagu “tak ada yang abadi” dari band peterpan ini memudarkan lamunanku yang jauh ke masa lalu. Dan memanggilku kembali untuk tersenyum ke tahun 2011 ini. Yah, bersyukur memang cara yang terbaik untuk membangun hidupku, untuk mewujudkan mimpi-mimpiku, dan untuk membuatku kuat akan semua yang kuhadapi nantinya. Bukankan Allah SWT sendiri yang berfirman, bahwa Dia tak akan memberikan cobaan kepada umatnya, diluar batas kemampuan umatnya tersebut. aku yakin, Tuhanku begitu sangat mencintaiku, hingga Dia menguji ku sedemikian rupa, agar aku tetap mengingat Nya. Dan kini, roda itu berputar. Perlahan tapi pasti, janji Allah itu datang kepadaku. Sekarang aku telah bekerja sebagai jurnalistik disalah satu surat kabar terkemuka di Indonesia. Dan Tuhan pun telah membersihkan kota kelahiranku tercinta, kota serambi mekkah dari darah-darah makhluk biadab, dari jiwa-jiwa pemberontak, dengan menurunkan bala bencana terbesar, yaitu Tsunami Aceh yang terjadi pada desember 2004 silam, Allahualam…Dialah pemilik setiap kehidupan di muka bumi ini. Setiap yang bernyawa, akan kembali
padaNya. Dan setiap dzat adalah milikNya. Dialah penguasa dari segala Penguasa. Hanya Allah SWT yang Esa.
Akhirnya hujan berhenti juga, dan air matapun ikut mengering. Ku putuskan untuk masuk ke kamar. Aku sekarang bekerja di Jakarta dan mengontrak rumah 4 kamar bersama teman-teman ku satu kerjaan, dan sekarang, merekalah keluarga ku. Keluarga tempat ku berbagi, keluarga ku tertawa, keluarga ku menangis, keluargaku senang dan sedih. Aku sangat menyayangi mereka.
Disini aku menemukan rumah baruku. Ada Butet srihandayani lubis, dia berasal dari medan. Anaknya periang dan lucu sekali, dengan logat bataknya yang sangat kental itu, dia sering menirukan cara bicara Bu minah, ibu kantin di tempat kerja kami. Ibu minah adalah orang jawa, dan beliau cerewet sekali, bila sudah bercerita, maka satu halaman koranpun tak akan cukup untuk memuatnya. Tetapi eliau berhati baik, aku sudah menganggapnya seperti ibuku sendiri. Lain lagi dengan Eren rotua, dia bekerja sebagai wartawan di tempat kami bekerja. Ia berasal dari sorong, papua. Walau kami berbeda agama, namun rasa saling menghargai itu tetap terjaga. Dan aku sudah menganggap mereka seperti saudaraku sendiri. Yang satu lagi adalah meymey, dia dari tanah melayu, riau. Meymey pecinta bollywood, terutama bintang bollywood Sharuk khan, setiap menonton film-film india ini, dia pasti menangis. Dan dia bisa menghabiskan berbungkus-bungkus tissue. Dan aku sendiri adalah Sarah, Cut sarah. Tapi teman-teman ku biasa memanggilku dengan nama sarah saja.
Aku memang sangat menyukai dunia jurnalistik. Menjadi jurnalis adalah cita-cita ku dari dulu. Untuk itu aku mengambil jurusan komunikasi untuk menunjang itu semua disalah satu perguruan tinggi di medan. Bagiku, informasi apapun yang kita dapat merupakan jendela bagi kita dan penerangan untuk setiap keputusan yang kita pilih. Dan aku ingin memberikan setiap informasi kepada semua orang. Aku juga suka sekali menulis, baik itu menulis cerpen, puisi, ataupun kisah sehari-hariku. Untuk itu aku menuangkan hobiku ini pada sebuah blog yang kuberi nama “setengah kukang setengah manusia”. Banyak teman-temanku yang bertanya, kenapa nama blog ku itu setengah kukang setengah manusia?? Kebanyakan dari merekapun tidak tahu apa itu kukang.
Kukang adalah sejenis hewan berbulu, mirip dengan tupai, hanya saja ukurannya lebih kecil. Kukang memiliki sifat pemalu, lucu, dan menggemaskan. Aku suka sekali pada kukang. Namun kenapa aku memakai kata “setengah” pada nama blog ku, karena filosofi nama blog ini terinspirasi dari sifat kukang itu, tapi menurut ku aku bukanlah orang yang pemalu.
Menulis bagiku adalah berbicara. Terkadang berbicara dengan lisan, kita memiliki keterbatasan, namun dengan menulis, kita bisa mengekspresikan setiap rasa yang kita rasakan tanpa harus memikirkan mimic
disetiap geriknya. Malam ini aku benar-benar sangat merindukan umi. Entah apa yang sedang dilakukan umi di syurga sana. Mungkin beliau juga sedang memikirkanku, dan ku berharap umi selalu tersenyum melihat anak gadisnya kini yang tumbuh mandiri seperti yang diharapkan umi. Untuk melampiaskan kerinduanku pada umi, aku melantunkan sebuah puisi untuk umi.

Wahai jiwa perkasa pada raga bijak itu
Betapa ku sangat merindukan sosok mu
Aku disini yang slalu haus akan kasih
Hanya mampu untuk mengenangmu disetiap doa-doa ku
Pelukan hangat penyejuk hati yang lara…
Tak kurasakan lagi selepas kau pergi
            Wahai jiwa perkasa pada raga bijak itu
Harum tubuhmu yang kurindukan
Sejuk senyummu yang kudambakan
Belaian hangatmu yang ku nantikan..
Adakah disana wahai malaikat tanpa sayapku
Merindu sepertiku merindumu…
Aku terjebak dalam nestapa rona kesedihan…
Yang hanya memandangi wajah ayu dibalik bingkai kayu…
            Wahai jiwa perkasa pada raga bijak itu
Disetiap lantunan dzikir doaku
Selalu terukir namamu…
Bahkan setiap detik aliran darahku, doa untuk mu…
Aku disini mampu berdiri tegak, menaikkan bahuku
Hanya untuk membuatmu tersenyum
Namun sungguh,
derai air mata ini tak terbendung jikala aku menghadap Sang Pencipta mu…
            wahai jiwa perkasa pada raga bijak itu
ingin rasaku memelukmu..
menyelimutimu seperti kau menyelimutiku dari kedinginan sang malam…
mengusap air matamu seperti kau menegarkan hati yang lemahku..
membasuh kedua telapak kakimu, seperti kau yang memandikan tubuh mungil tanpa daya ini
namun Sang Pencipta mu, Sang Pencipta kita…
Dia sudah memilihkan jalan terbaik untukmu, untukku…
            Wahai jiwa perkasa pada raga bijak itu
Disini ku kan slalu menjadi apa yang kau mau
Disini ku kan slalu merindu disetiap doaku
Disini ku kan slalu menjagamu..
Disini.. di relung kosong putih…
Sampai nanti…
Sang Pencipta pemilik jiwa mempersatukan kita.

Kembali air mata ini mengalir tanpa kusadari. Bukan air mata kesedihan, bukan pula air mata penyesalan. Namun ini adalah air mata penuh kerinduan pada umi ku, sang jiwa perkasa pemilik jiwa bijak itu. Sampai kapanpun, aku tak bisa melupakan kejadian masa lalu itu, masa laku yang mengubah arah masa depanku.
Terlepas dari sang malam yang sangat melelahkan, ku putuskan untuk beristirahat dan menanti sang fajar dengan segala kesibukannya. Karena esok, masih banyak yang harus kukerjakan.
Pagi ini sungguh indah, selepas hujan yang deras tadi malam membasahi bumi, maka subuh ini ia meninggalkan jejak kesegarannya ditemani embun lembut yang mnyelimuti dedaunan. Kubuka jendela kamar dan menghirup harum udara pagi yang menyehatkan. Selesai sholat subuh, ku rapikan kamar, menyapu, menyuci piring-piring sisa makan malam, lalu bergegas mandi. Karena bila kita tidak mencoba bersahabat dengan waktu, maka waktupun enggan berbaik hati dengan kita. Aku berangkat ke kantor pukul 06.00 wib, takut terjebak macet di jalan. Maklum saja, kota metropolitan yang agung ini terkenal dengan macetnya. Memang tata jalur perhubungan yang buruk. Polusipun dimana-mana. Tak bisa disalahkan pemerintah sepenuhnya memang, karena banyak masyarakat yang tanpa bekal dan bermodal nekat ingin mengadu nasib disini, akibatnya kota Jakarta semakin padat. Namun di kota ini adalah awal kehidupan baruku.
Benar saja kubilang, pagi ini akan menjadi pagi yang super sibuk. Aku ditugaskan oleh atasan ku untuk meliput kehidupan suku terasing di pedalaman Sulawesi tengah. Suku wana, adalah suku terasing di pedalaman Sulawesi tengah. Seperti suku-suku terasing dibelahan bumi pertiwi lainnya, suku wana hidup secara nomaden (tidak menetap), dan mereka membuat rumah di atas pohon. Awalnya mereka enggan bertemu dengan orang luar, mereka terisolir dari peradaban modern. Namun kini, setelah banyaknya program pemberdayaan suku terasing oleh pemerintah dan lembaga-lembaga sosial lainnya, suku wana sudah mengenyam pendidikan bahkan sampai ketingkat SMP. Dan hidup mereka jauh lebih baik dengan hidup menetap.
Pak Budi, atasanku, beliau memerintahkan ku untuk menulis potret kehidupan disuku wana. Dan aku mencintai pekerjaan ini. Ya, pekerjaan dimana aku dapat bertemu orang-orang yang belum pernah aku temui, dimana aku dapat membuka mata tentang apa yang terjadi disekitarku, bahwa tak semua kehidupan itu indah dan tak selamanya pula pahit. Untuk menjalani tugas ini, aku akan meninggalkan kota Jakarta selama satu minggu. Semua persiapan sudah diurus oleh kantor. Dan besok, aku siap menjalani tugas ini.
Selama di pedalaman ini, banyak hal yang dapat kupetik. Tentang bagaimana manusia itu menjadi manusia, apa itu arti kebersamaan, dan kasih saying yang bagaimana yang benar-benar tulus. Walau mereka sangat minim mendapatkan pendidikan formal, namun alam mengajarkan lebih kepada mereka. Dua hari menjelang kepulanganku ke Jakarta, aku sempat jatuh sakit. Tabib setempat mendiagnosisku terkena gejala DBD, dan karena aku juga punya penyakit anemia/ kekurangan darah merah, maka oleh puskesmas terdekat, aku diharuskan transfuse darah. Untuk menuju puakesmas ini saja, butuh waktu 10 jam tempuh dikarenakan kondisi jalan.
 Golongan darahku adala A+, dan kebetulan stock di puskesmas sedang kosong. Syukurlah ada seorang warga yang memiliki golongan darah yang sama denganku dan bersedia mendonorkannya. Alhamdulillah kondisiku mulai pulih. Walau kepulanganku tertunda selama 3 hari, namun ku senang dapat menginjakkan kaki kembali ke kota metropolitan ini. Dan bertemu kembali dengan Butet, Eren, dan Meymey, sahabat-sahabat terhebatku.
Kembali sibuk dengan rutinitas, tak terasa sudah dua minggu berlalu aku pulang dari Sulawesi tengah itu. Malam semakin larut, aku masih sibuk berkutat dengan laporan-laporanku. Oh ya, ada teman seprofesi ku pindahan dari kota lampung. Namanya Husni, Muhammad husni. Anaknya baik, dan juga humoris. Baru seminggu terakhir dia disini, namun semua sudah akrab dengan husni. Sang malam sepertinya telah memerintahkan malaikat tidurnya untuk menyemprotkan racun kantuk kemataku, dan ini sudah akut. Good night laporan…good night laptopku…..
Sore ini husni mengantarkan ku pulang ke kontrakan, dan seperti biasa, teman-temain jail ku mulai menggodaku dengan berbagai macam pertanyaan. Aku didudukkan pada sebuah kursi seolah-olah aku adalah seorang tersangka korupsi dana alokasi pembuatan mash atlet di Palembang yang baru tertangkap di coloumbia. Mereka mengintrogasiku dengan berbagai pertanyaan dan melirikku sangat tajam. Aku hanya bisa tersenyum dan berkata bak artis kelas kakap, NO COMMENT !!
Ya, memang tak ada yang bisa kujelaskan pada mereka mengenai hubunganku dengan husni. Karena kami masih dalam tahap penjajakan, dan belum terjalin hubungan yang lebih serius. Husni sangat perhatian, dan aku nyaman berada didekatnya. Aku memang merasakan hal yang lebih pada husni, namun ku tak mungkin memulainya terlebih dahulu, mengatakan kalau aku suka dia. Walau kata-kata itu sangat kuharapkan darinya. Aku adalah seorang wanita, terserah orang berkata apa tentang emansipasi. Tapi bagiku, pria tetaplah imam, yang harus lebih dahulu memulainya. Sudah dua hari ini aku merasa kurang enak badan, persendianku ngilu, selera makkan berkurang, dan terkadang suka mual. Tidak..aku tidak hamil. Jangan berfikir terlalu jauh dulu. Aku memang hidup di kota metropolitan, dimana kebebasan sangat diagungkan. Namun ku masih punya Tuhan yang senantiasa melihat dan memperhatikanku. Aku akan tetap menjaga kesucian ini hingga sang pangeranku, suami tercinta yang sah baik agama maupun hukumlah yang mendapatkan kehormatan ini.
Akhirnya kuputuskan untuk memeriksakan kedokter usai pulang kantor. Dan dokter menyuruhku untuk melakukan beberapa test laboratorium. 3 hari kemudian hasilnya keluar. Entah apa salahku, entah apa mimpiku, hasil lab mengatakan bahwa aku positive terkena hepatitis B. dimana ini merupakan penyakit yang menyerang hati, penyakit ini disebabkan oleh virus hepatitis B. lebih ganas 100 kali dari HIV dan penularannya 10 kali lebih cepat. Ya Allah, ya Rabb, duniaku terasa berhenti, detak jantungku berdegup 100 kali lebih cepat, dan sejenak aku larut dalam ketidak sadaranku. Aku seperti ditimpa besi berton-ton di atas kepalaku, dan kemudian aku jatuh terperosok ke dalam lubang yang sangat dalam. Kata dokter, ini dapat tertular dari hubungan seksual, jarum suntik, donor darah, atau kontak fisik secara langsung kepada penderita melalui luka/darah. Teringat ku kejadian sebulan lalu, dimana aku mendapatkan transfuse darah. Yang memang pada hari itu tak ada stock dari PMI dan aku membutuhkan cepat. Ahh.. nasi sudah menjadi bubur. Dan aku tak bisa menyalahkan siapa-siapa.
Hari itu aku diantar husni ke rumah sakit. Pulang dari rumah sakit, husni berniat mengajak ku makan malam, dia ingin mengatakan sesuatu yang penting padaku katanya tadi di kantor. Namun setelah kejadian di rumah sakit tadi, aku enggan untuk melakukan hal apapun. Kukatakan pada hunsi ku tak enak badan, dan kepalaku sakit. Husni mengerti akan itu, dan dia mengantarku pulang ke kontrakan. Di ruang tamu, kupersilahkan husni untuk meminum teh hangat terlebih dahulu. Dan disitulah dia mengatakan
niatnya padaku. Ku lihat butet, eren, dan meymey mengendap-endap dari balik tirai kamar mengintip pembicaraan kami. Namun kuabaikan mereka. Malam itu seharusnya menjadi malam yang sangat bahagia untukku, karena hal ini sudah lama kunanti. Husni menyatakan cintanya padaku, dan bermaksud untuk melamarku. Dia mengatakan bahwa dia telah mengatakan ini pada kedua orang tuanya, dan orang tuanya menyambut baik niat husni, walau mereka tahu latar belakang keluargaku.
Aku terasa tersambar petir, tubuhku tersayat-sayat halus oleh pisau yang amat tajam, jantungku seperti terhunus pedang panjang. Aku terjebak dalam dua keadaan, dimana aku sangat bahagia karena cinta yang kuharapkan ternyata bersambut, dengan rasa sedih yang mendalam karena cinta itu tak bisa ku renggut. Tak mungkin ku menerima pinangan itu. Jangan untuk mengatakan “iya”, bahkan untuk melihat wajahnya saja ku tak sanggup. Aku terdiam seribu bahasa dan tanpa kusadari air mata ini jatuh jua. Akhirnya ku suruh husni untuk pulang dank u meminnta waktu untuk memikirkannya. Terlihat kerut heran diwajahnya, namun dia berusaha menerima keputusanku dan memberikanku waktu. Sebelum teman-temanku bertanya lebih jauh, aku segera masuk ke kamar dan menguncinya. Aku menangis terisak-isak, meratapi tentang apa yang terjadi padaku. Sampai air mata ini tak mampu lagi keluar. Semalaman ku tak bisa tidur memikirkan ini semua, kembali melihat hasil lab, berharap ada kesalahan data atau nama pasien, hingga ini hanya merupakan mimpi buruk ku dank u terbangun kembali dari mimpi ini. Namun ternyata ini adalah kenyataan yang lagi-lagi harus kuterima dengan lapang dada. Akhirnya ku putuskan untuk cuti beberapa hari dari kantor. Kepada pak budi, yang sudah kuanggap seperti ayahku, ku jelaskan semua yang menimpaku, bahkan beliau prihatin dan bersedia membantu pengobatanku. Akupun memutuskan untuk pindah kontrakkan dan mengasingkan diri, tak inginku menulari orang-orang yang kusayang dengan penyakit biadab yang menimpaku ini. Dan aku pergi tanpa pesan kesuatu tempat, tempat dimana butet, eren, meymey dan husni tak akan menjumpaiku lagi. Kutitipkan sepucuk surat kepada pak budi untuk husni, dan menjelaskan bahwa aku juga sangat mencintai dia sepenuh hatiku, namun justru karena rasa cinta yang besar inilah aku tak bisa menerima pinangannya. Dan aku menyuruhnya untuk melupakanku perlahan. Dan segera mencari penggantiku, dan menemukan kebahagiannya, tapi bukan bersamaku.
Aku pergi kesuatu tempat yang terpencil untuk menata hatiku. Hanya dengan pak budilah ku berkomunikasi. Dan beliaupun membantu biaya pengobatanku. Namun sepertinya Tuhan berkehendak lain, dokter memvonisku dengan hanya 5% kesembuhan yang akan kudapat, namun aku tetap berusaha dan bertahan. Aku tetap percaya keajaiban itu ada, walau sangat kecil. Aku bergabung dengan LSM yang berkecimpung membantu penyuluhan tentang penyakit hepatitis B. ketika ku membuka alamat emailku, banyak pesan yang kudapat ternyata dari butet, eren, meymey. Mereka menanyakan kemana dan ada apa
denganku, mereka sepertinya kesal padaku. Namun ku tahu itu bukan dari hati kecilnya. Yang terbanyak adalah pesan dari husni, dan ini yang membuat air mataku berderai. Ditulis olehnya
…..”kau kekasihku, yang kunanti setiap senyum mu yang manis itu. Aku mungkin kehilangan ragamu, tapi tak kubiarkan cinta dan jiwa mu pergi dariku…aku tahu kau disana menunggu ku. Dan ku pun kan setia menanti walau tanpa jawab mu”…..
Cintamu, Muhammad Husni.
Terenyuh hati ini membaca pesan dia di emailku, betapa bersalahnya aku membuatnya menunggu tanpa penjelasan apapun yang akan didapatnya. Namun ini keputusanku, keputusan yang teramat berat untukku, dan juga untuk nya. Bahkan cintaku untuknya pun tak berkurang walau hanya setitik.
Enam bulan sudah berlalu, penyakitku semakin parah, tubuhku sudah sangat lemas. Namun ku tetap aktif  pada LSM itu demi memperjuangkan agar mereka tak mengalami seperti yang kualami. Dan kudengar dari pak budi, husni dijodohkan oleh orang tuanya dengan wanita dari lampung. Aku bahagia mendengarnya, sungguh bahagia. Paling tidak dengan ini, perlahan dia akan menemukan kebahagiaannya. Dan disini, ku kan selalu menjaga cintaku untuknya.
Waktu terus berputar, dan penyakitku pun semakin rajin berkembang. Hobi menulisku lah yang menemani hari-hariku. Sudah banyak yang kutulis. Setiap perjalananku, setiap sisa hidupku, setiap tarikan nafasku yang masih sanggup ku tarik. Sampai pada hari itu, hari  dimana aku merasa akan berkumpul kembali dengan ayah, umi, dan bayu adikku. Hari dimana ini terakhir kalinya ku menulis dan hari dimana cinta husni kubawa bersama selendang putih pemberiannya malam itu.


pelangi itu tak akan berhenti memancarkan warna-warninya….
Ia akan terus terbit setelah hujan menyerang bumi…
Dan ia akan selalu setia memberikan kecerian yang bergelut dengan cahaya keemasan
Raga boleh pergi bersama hujan yang telah henti
Namun jiwa akan setia melindungi cintanya bersama terangan mentari
Disini….ditempatku…..
Aku akan selalu meandangimu dengan senyuman termanisku…
Sampai nanti…sampai kau dan aku…
Bertemu di singgasana kemesraan abadi yang tak terpisahkan

By: cut sarah
1 januari 2013

2 komentar:

  1. hampir nangis bacanya.
    andra kira cerita kamu ini. sadis yo.
    serasa gimana gt.

    BalasHapus